Sabtu, 01 Agustus 2009

Reformasi Diri, Sebagai Solusi Mengatasi Depresi

Reformasi Diri, Sebagai Solusi Mengatasi Depresi
Category: Psikologi

Dalam hidup banyak masalah-masalah yang dihadapi. Masalah-masalah dari tingkatan ringan, medium bahkan sampai yang bertaraf tinggi yang acapkali membuat stress. Stress adalah kondisi yang menekan atau hal-hal yang sekiranya menekan kesejahteraan atau kenyamanan dan menuntut kemampuan individu untuk mengatasinya. Tekanan-tekanan itu dapat berupa kemanan fisik, harga diri, reputasi, ketenangan pikiran atau kedamaian, dan hal-hal lain yang berharga. Berat ringanya stress tergantung dari diri individu bagaimana mempersepsinya. Minor stress (stress ringan) akan berdampak kecil, akan tetapi mayor stress (stress berat) akan berdampak buruk bagi diri, yaitu bias mengakibatkan depresi. Depresi itu diartikan sebagai sebuah kondisi batin yang tertekan dalam waktu panjang (stress berkelanjutan), tekanan batin yang serius ditandai dengan kesedihan dan kekosongan (feelings of sadness or emptiness) dan mengakibatkan hilangnya harapan hidup, motivasi berprestasi, dan kepercayaan diri (loosing mood and confidence). Secara garis besar bias dikatakan bahwa depresi bisa terjadi distimulasi oleh keadaan-keadaan eksternal yang berubah ke arah yang lebih buruk dan itu diluar kontrol, dan kondisi emosi psikologis masing-masing orang turut menentukan apakan sesuatu itu dapat menyebabkan depresi, sejauh mana tingkat depresinya serta seberapa besar kemampuan orang itu untuk mengatasi masalah (hingga tidak sampai sepresi), seberapa besar kemampuan orang itu untu mengatasi depresinya.

Banyak upaya untuk mengatasinya, banyak cara untuk mencari solusi yang tepat. Meski ingin segera dapat mengatasi depresi, tetapi tidak jarang malah mempraktekan hal-hal yang memperparah depresi itu sendiri. Hal-hal berikut yang akan semakin memperparah depresi:

1. Hanya mencari-cari tips, saran atau teknik yang jitu untuk mengatasi depresi.

2. Tidak percaya, menolak atau skeptis terhadap saran, pendapat, atau bantuan orang lain. Ini adalah bentuk padanan yang ekstrim dari yang pertama. Menutup diri, menutup-nutupi masalah, menjauhi orang kerapkali justru akan membuat semakin depressed dengan keadaan.

3. Hanya menyalahkan keadaan atau orang. Mungkin saja yang membuat depresi itu adalah keadaan atau orang lain. Tetapi akan malah berbahaya kalau yang diingat dan yang dilakukan adalah hanya mengutuk keadaan dan mengutuk orang lain. Harus ada inisiatif dari dalam diri untuk mengobati diri sendiri.

4. Kurang kreatif dalam menemukan solusi atau terlalu taat pada rutinitas yang biasa-biasa saja. Ini juga bias membuat depresi itu makin mendalam. Ada sran agar menjadi aktifitas menjadi tiga: aktivitas positif yang wajib; Aktivitas yang untuk fun atau pleasureable; Aktivitas untuk menabur kebajikan pada orang lain seperti membantu atau menyambung hubungan.

5. Membiarkan munculnya definisi diri negative, (missalnya saja saya sudah tidak punya apa-apa lagi, saya muak melihat diri saya, hidup saya sudah hancur dan tidak bias diperbaiki lagi, dan seterusnya). Ini adalah definisi atau kesimpulan atau label tentang diri sendiri yang dibuat sendiri. Jika ini terus berlanjut akan mempersulit upaya recovery (bangkit).

6. Menolak realitas dengan cara yang merugikan. Realitas itu kalau ditolak dengan tujuan menolak yang asal menolak (denial) akan memperparah pertengkaran yang membuat depresi itu makin mencengkram. Tetapi bila diterima dengan pasrah dan kalah (larut dan hanyut), ini juga tidak menyembuhkan. Yang diharapkan adalah menerima untu memperbaiki. Seperti yang ditulis Dr. Felice Leonardo Buscagila “Trauma yang abadi adalah penderitaan yang tidak diikuti dengan perbaikan”.

7. Menganut paham perfeksionis (perfectionism) yang tidak rasional. Dari pengalaman sejumlah ahli dalam menangani penderita depresi, konon yang menghambat upaya recovery adalah ketika seseorang berpikir bahwa dia harus bebas dari depresi seketika itu dan langsung, tidak usah repot-repot. Mengatasi depresi butuh proses yang berkelanjutan, dan jika ditentang proses itu bukan malah cepat tetapi malah semakin lama.

Hal-hal berikut merupakan reformasi diri yang bias dijadikan solusi dalam rangka mengatasi depresi.

1. Membangun Citra Diri Positif

Citra diri berasal dari bagaimana menyimpulkan diri sendiri atau beropini tentang diri sendiri. Yang membuahkan citra positif. Untuk membangun yang positif ini diperkukan tiga hal: Menciptakan definisi, opini atau kesimpulan yang positif; Melawan munculnya opini, definisi atau kesimpulan negatif dengan cara menghentikan, mengganti atau membatalkan; Menciptakan alasan-alasan faktual, bukti nyata untuk mendukung kesimpulan positif yang diciptakan.

Sedikit tentang alasasn faktual itu, misalkan saja berkesimpulan bahwa hidup memang masih bermakna (untuk diri sendiri dan orang lain). Kesimpulan ini lebih positif daripada punya kesimpulan yang sebaliknya. Tetapi jika yang dilakukan hanya sebatas merasa atau menyimpulkan (tanpa diiringi dengan perbuatan dan hasil atau pembuktian bertahap), lama kelamaan kesimpulan ini akan kalah oleh fakta yang ada tentang diri. Jangan pernah berpikir bahwa perbaikan diri itu bisa ditempuh dengan cara tidak melakukan sesuatu, It’s a wrong, Forget it.

2. Menjalankan Agenda Perbaikan Berkelanjutan yang Realistis

Kesalahan saat terkena depresi adalah hanya merasakan bagaimana depresi itu tetapi kurang berpikir tentang apa saja yang masih bisa dilakukan untuk memperbaiki diri di masa depan. Tenggelam ke dalam masa lalu yang buruk dan lupa mengimajinasikan masa depan yang lebih bagus. Padahal, masa lalu itu sudah tidak bisa diubah, masa depan itu masih open. Agar ini tidak terjadi, dapat memilih agenda perbaikan di bawah ini: Merencanakan program atau jadwal tentang apa yang perlu dilakukan dan apa yang perlu dihindari agar hidup menjadi lebih bagus di hari esok; Mencanangkan target yang bena-benar ingin diraih sebagai bukti adanya perbaikan dalam diri, misalnya mendapatkan pekerjaan, mendapatkan orang yang lebih bagus, mendapatkan tempat yang lebih bagus, dan seterusnya; Merumuskan tujuan jangka pendek atau panjang yang ingin diwujudkan, seperti misalnya menyelesaikan kuliah, meningkatkan penguasaan bidang, menambah pengetahuan atau skill, dan lain-lain.

Tiga hal di atas perlu dilakukan dengan catatan harus realistis. Bisa dilakukan dari mulai hari ini, dengan menggunakan sumber daya yang sudah ada, dan dari lokasi hidup dimana berada. Hindari membuat program atau target yang mengkhayal atau hanya berfantasi atau terlalu tinggi sehingga tidak bisa dilakukan dan tidak bisa diraih.

3. Menggunakan Ketidakpuasan

Saat depresi, pasti tidak puas dengan hidup. Ini bisa positif dan bisa negatif, tergantung bagaimana menggunakannya. Supaya bisa positif, salah satu caranya adalah dengan menggunakan ketidakpuasan itu sebagai dorongan/motivasi untuk melakukan sesuatu (menjalankan program, meraih target atau tujuan), bisa menggunakan ketidakpuasan atas masa lalu dan hari ini sebagai pemacu untuk memperbaiki atau mengubah hari esok. Jika pimpinan sering memarahi karena kinerja tidak sesuai dengan yang diinginkannya dan membuat anggota depresi, jadikan itu sebagai motivasi untuk berubah menjadi lebih baik, melakukan perbaikan kinerja dengan mencari kesalahan-kesalahan yang ada, memperbaiki skill, membangun karakter yang lebih positif, dan seterusnya. Ini jauh lebih positif ketimbang hanya merasakan depresi, mengasihani diri sendiri dan menyalahkan orang lain.

4. Memperbaiki / Memperluas Hubungan

Wilayah hubungan yang perlu diperbaiki adalah: Hubungan dengan diri sendiri, antara lain: kontrol diri, meditasi, dialog diri, dan lain-lain. Memperbaiki hubungan dengan diri sendiri akan membuat cepat mengontrol atau menarik diri dari keadaan yang tidak menguntungkan. Kalau sadar bahwa sedang depresi dan sadar bahwa harus segera mengambil tindakan, tentu ini akan beda persoalannya; Hubungan dengan orang lain. Memperbaiki hubungan dengan dengan manusia akan membantu usaha yang dilakukan dalam mengatasi depresi. Tetapi harus ingat bahwa manusia itu bisa digolongkan menjadi dua, yaitu: ada mausia yang menjadi sumber depresi, dan ada manusia yang menjadi bantuan solusi atas depresi. Yang dibutuhkan (sebanyak-banyaknya) adalah manusia kelompok kedua. Jangan sampai menjauhi semua manusia, trauma kepada semua manusia atau tidak percaya pada semua manusia; Hubungan dengan Tuhan (meningkatkan iman). Caranya dengan menjalankan ajaran agama (formal dan non-formal) sampai benar-benar merasa dan meyakini ada semacam kebersamaan. Kebersamaan di sini bukan kebersamaan yang halusinasi (tidak berdasar dan tidak berefek), tetapi kebersamaan yang mendorong untuk melakukan hal positif dan menghindari hal negatif. Kebersamaan seperti ini akan memperkuat dan mencerahkan.

5. Mengganti Paham Perfection Menjadi Excelence

Dengan bahasa yang sederhana dapat dijelaskan bahwa perfection adalah menuntut kesempurnaan (dari orang lain, dari diri sendiri, dan dari dunia ini). Sementara, excellence adalah mengusahakan kesempurnaan secara bertahap, perbaikan berkelanjutan. Perfection lebih dekat pada keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan seperti ini lebih mudah terkena depresi pada saat ingin mengatasi depresi, misalnya saja tidak mau gagal lagi (kemungkinan untuk gagal itu selalu ada), anti toleransi terhadap kelemahan orang lain (semua orang punya kelemahan), dan seterusnya.

Menurut Susan Dunn, MA, (When Perfect Isn’t Good Enough, www.selfgrowth.com), perfeksionis dapat mengakibatkan hal-hal buruk antara lain adalah: Dapat mengantarkan pada isolasi diri; Dapat mengantarkan menjadi orang yang takut menghadapi resiko hidup; Dapat mengantarkan pada kesulitan dalam membuat keputusan atau sasaran hidup yang tepat; Dapat mengantarkan pada kesalahan dalam menilai diri (overestimate); Dapat mengantarkan menjadi orang kerdil yang sulit mempercayai orang lain.
Posted by Hendrawan Wibisono at 31/1/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar